Nikah Siri vs Poligami Resmi
Nikah Siri vs Poligami Resmi - Kenapa Poligami Resmi Lebih Baik dari pada Nikah Siri ? berikut adalah kutipan yang dapat jadi referensi untuk mengetahui resiko nikah siri lebih merugikan dari pada poligami. (hmm sedangkan poligami sendiri juga masih mendapat kecaman dari sebagian wanita apalagi nikah siri) kita ulas saja kutipan di bawah.
Pernikahan di bawah tangan istilah lain nikah siri akhir-akhir ini di pemancar tv jadi gunjingkan dan menuai kecaman sebagian masyarakat umum. Hal ini dikarenakan masuk wacana dalam pembahasan rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Pembahasan RUU ini terkait dengan Program Legislasi Nasional 2010 yang diinisiasi pemerintah. Dalam RUU disebutkan bahwa pelaku pernikahan siri akan dikenai sanksi hukuman pidana.
Nikah Siri vs Poligami Resmi |
Nikah siri sendiri adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita yang dilakukan secara hukum Islam, namun tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Sehingga kalau ada perceraian dalam perkawinan siri ini maka tidak ada pihak yang bisa menuntut secara hukum karena merasa dirugikan dan sebagainya.
Sedangkan kawin kontrak atau nikah mut’ah adalah seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidaksaling mewariskan dan tidak ada iddah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengenal nikah siri ataupun nikah kontrak, namun lebih menyebutnya sebagai pernikahan di bawah tangan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Menurut MUI, penikahan ini bisa menjadi haram apabila menimbulkan korban. Sedangkan Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) menyetujui adanya sanksi bagi pelaku pernikahan siri, tetapi bentuknya hukuman perdata bukan pidana.
Kawin Siri / Pernikahan Siri
Terkait kepastian hukum tentang pernikahan siri, faktanya ikatan pernikahan tanpa legalitas ini lebih banyak merugikan pihak istri dan anak. Banyak kasus yang membuktikan dampak buruk pernikahan siri dan kontrak, seperti ketidakpastian hak, pengabaian, atau bahkan penelantaran.
Dalam nikah siri seorang perempuan cenderung disepelekan, dan lelaki bertindak semaunya terhadap perempuan yang dinikahinya tanpa catatan legalitas. Kekerasan fisik dan seksual kemudian menjadi dampak yang paling sering terjadi dari pernikahan siri.
Adapun motif yang melandasi pernikahan siri adalah uang, daya tarik fisik, dan rayuan. Dan, tak hanya perempuan lugu yang kurang akses informasi yang menjadi korban namun juga perempuan berpendidikan dengan pengetahuan cukup pun bisa terpedaya, terutama karena faktor uang, kemapanan yang akarnya kembali kepada keinginan untuk hidup nyaman dan mewah.
Sementara alasan lelaki menikahi siri pasangannya lebih banyak karena ketidakpuasan dari istri sahnya. Ketidakpuasan itu umumnya terkait dengan fisik istrinya dan juga seksual.
Dalam pernikahan siri, baik perempuan (yang cenderung sebagai korban) maupun lelaki menyadari tindakan mereka dan sebagian tahu benar resikonya. Meski begitu perempuan yang sadar resiko nikah siri akhirnya tak tahan dengan kondisinya. Kemudian mereka melarikan diri dari situasi tersebut. Bagi korban perempuan lain yang tertipu oleh si lelaki, seringkali lelaki mengaku lajang sebelum mengajak nikah siri, pengacuhan, penelantaran, dan kekerasan kemudian menjadi dampak negatif dari nikah siri.
Istri dari pernikahan siri cenderung lebih dijadikan pelampiasan sang suami dari problematika kehidupan kesehariannya. Kekerasan fisik paling sering didapatkan korban, di luar pemenuhan kebutuhan lain atas permintaan dari suami. Kondisi perempuan yang menikah siri cenderung mengikuti keinginan pasangan lantaran motif awal pernikahan mereka.
Perempuan dihadapkan dengan berbagai resiko dan kebanyakan menjadi korban pernikahan siri. Pemahaman yang mendalam tentang hak perempuan, perubahan mindset tentang hidup dalam kemewahan, serta kultur yang menempatkan perempuan pada posisi subordinan seperti menuruti kata orang lain dan kebergantungan terhadap pasangan, menjadi sebagian akar masalahnya.
Tidak adil jika kemudian dampak negatif dari pernikahan siri digeneralisasi terjadi kepada semua pelakunya. Namun kasus yang terjadi membuktikan bahwa perempuan cenderung mengalami ketidakadilan. Lebih lagi tak adanya ikatan hukum yang bisa menjadi alat untuk mengadukan dan menyelesaikan kasus di meja hijau.
Perkawinan Kontrak
Kawin Mut’ah atau kawin wisata atau yang lebih populer disebut kawin kontrak adalah kawin yang dibuat atas dasar kontrak atau perjanjian, yang jangka waktunya terserah perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak. Boleh satu tahun, boleh satu bulan, boleh satu hari, boleh satu jam dan boleh sekali main.
Sedang jumlah wanita yang di-Mut’ah terserah kepada si laki-laki, boleh berapa saja, terserah kekuatan dan minat si laki-laki.
Mereka tidak saling mewarisi bila salah satu pelakunya mati, meskipun masih dalam batas waktu yang disepakati. Juga tidak wajib memberi nafkah dan tidak wajib memberi tempat tinggal.
Mut’ah dilakukan tanpa wali dan tanpa saksi, begitu pula tanpa talaq dan habis begitu saja pada akhir waktu yang disepakati.
Pelakunya boleh perjaka atau duda, bahkan yang sudah punya istri. Sedang si-wanita boleh masih perawan atau sudah janda.
Adapun tempatnya boleh dimana saja, baik didalam rumah sendiri maupun diluar rumah.
Di buku fiqh, kawin kontrak/ kawin wisata tidak dikenal.
Barangkali hanya para hidung belang saja yang menghalalkan kawin kontrak sebagai usaha untuk menghindari perzinaan. Padahal prinsip pernikahan adalah hubungan yang langgeng antara suami-istri, keturunan, cinta kasih, dan tanggung jawab bersama dalam mendidik anak.
Pernikahan bukanlah semata-mata menikmati hubungan seksual, sehingga seolah-olah menjadikan perempuan sebagai ” BARANG”.
Banyak mudarat dari kawin kontrak seperti melahirkan tanpa pernikahan sah, penyebaran kerusakan dan menyebarnya banyak penyakit.
Seharusnya semua pihak yangg berwenang ikut membantu menanggulangi kawin kontrak dan menyerukan agar para ulama mengeluarkan fatwa yang melarang kawin kontrak tersebut.
Pernikahan yang sah memerlukan syarat-syarat tertentu diantaranya ijab kabul, pernyataan dari dari kedua pihak atau calon suami istri, dihadapan wali dari calon istri.
Kawin kontrak dalam hukum Islam dilakukakn karena diindikasikan sebagai pelacuran atau perdagangan manusia terselubung yang mencari pembenaran. Istilah kawin kontrak digunakan agar tidak dianggap asusila.
Seyogyanya pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi masyarakat dan menangkal merebaknya praktik perdagangan manusia di-Indonesia yg salah satunya melalui UU trafficking.
Bagaimana pendapat syariat Islam soal kawin kontrak ? Jelas kawin kontrak ini di larang oleh agama, karena kawin kontrak ini “menyerupai” pelacuran dan syarat-syarat yang harus diadakan untuk melakukannyapun jauh dari syarat-syarat pernikahan secara Islami
Poligami Resmi vs Nikah Siri / Kawin Kontrak
Kalau melihat uraian di atas baik perihal nikah siri maun kawin kontrak sudah jelas kedua tindakan tersebut sama-sama merugikan pihak istri dan hanya bermotif nafsu belaka, jauh dari tujuan utama esensi pernikahan itu sendiri.
Karena tujuan utama pernikahan adalah membentuk rumah tangga yang bahagia, langgeng sampai ajal menjemput nantinya.
Melihat hal-hal mudharat yang ditimbulkan oleh nikah siri mapun kawin kontrak maak sebaiknya dihindari dan sudah sepatutnya rencana pemerintah yang akan mengenakan sebagai tindakan pidana bagi kedua jenih perkawinan tersebut patut di dukung semua pihak.
Kalaupun seorang laki-laki tidak bisa menghindar dari suatu perkawinan yang ke-2 ataupun ke-3 , bahkan ke-4 (berpoligami) karena suatu kondisi yang sifatnya tidak bisa dihindari, maka alangkah baiknya dilakukan secara resmi, bukan dilakukan dengan cara nikah siri atau bahkan kawin kontrak.
Sehingga dengan berpoligami secaar resmi dan mendapat ijin dari istri tua, maka kondisi psikologis dan sosial dari hubungan individu dan keluarga dari pihak laki-laki dan wanita akan tetap terjaga kehangatannya, tanpa tercederai secara fatal. Dan kalaupun ada anak keturunan dari perkawinan poligami ini akan jelas nasab dan nasibnya karena ada seorang ayah yang akan bertanggung jawab.
Jadi secara Hukum perkawinan poligami hanya bisa dilakukan jika ada sesuatu hal yang tidak bisa dihindari, misalnya pihak istri tidak bisa melayani “nafsu” suami yang masih membutuhkan pelampiasan, dan pihak istri sendiri bersedia di madu dengan kesadarannya sendiri tanpa tekanan. Dan pernikahan poligami ini dilaksanakan secara resmi dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Bagaimana menurut anda? ( lcd laptop )
Teori di atas di ambil dari sumber :
http://politik.kompasiana.com/2010/02/18/kawin-siri-lebih-baik-dari-pada-kawin-kontrak-draft/
Artikel yang anda baca: Nikah Siri vs Poligami Resmi dan anda bisa melihat Nikah Siri vs Poligami Resmi ini dengan url http://resikobuku.blogspot.com/2012/12/nikah-siri-vs-poligami-resmi.html. Silakan sebarluaskan dan copy artikelnya Nikah Siri vs Poligami Resmi ini jika memang berguna bagi anda atau temen-temen anda, tapi ojo lali untuk mencantumkan link sumber. Suwun
0 Komentar:
Posting Komentar